23 Juli 2019. Grup
musik, Penembak Jitu, merilis sebuah video musik berjudul Philosophia
Manusia. Saya melihat potongan video tersebut di Instagram story milik
Munir Shadikin, yang belakangan saya tahu bahwa video monokrom tersebut
diproduksi Alemo Film dan disutradarai Munir Shadikin.
Kanalkalimantan.com menerbitkan tulisan berjudul Rilis “Philosophia Manusia”,
Pembak Jitu Rekam Wajah Banjarmasin Lewat Video Musik Monokrom pada
tanggal 26 Juli 2019. Dalam wawancara
tersebut, Munir mengatakan, banyak yang berbeda ketika ia menapaki
kakinya kembali ke Banjarmasin usai studi. Mulai dari wajah kota, kebijakan
publik politisi, perilaku warga kota di jalanan, corak kesenian para seniman,
pegangan dalam mencari penghidupan, dan masih banyak yang lainnya.
Tentu saja Munir
lebih mengenal Banjarmasin—dulu hingga sekarang—ketimbang saya. Sebagai
pendatang di kota ini, saya ingin mengenal Banjarmasin lebih jauh lagi. Seperti
Munir, di kepala saya tentu masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang menggantung
dan nyaris tak tertanggungkan.
Kita, kata Penyair
Hijaz Yamani dalam puisi “Lanskap Sungai”, memang selalu menyusuri sungai
leluhur ini tapi belum sampai ke muara. Dan memang, puluhan tahun kemudian,
sama saja. Kita masih dalam penyusuran kehidupan melalui perayaan-perayaan
hidup dan segala yang menaunginya. Di dalamnya orang-orang berusaha merayakan
hidup. Kedai-kedai kopi dibangun dan tumbuh beriringan. Komunitas-komunitas
bergerak bersama dan menyuarakan perkara yang berbeda. Ada yang bertahan dan
kian besar. Ada pula yang cuma hadir sebentar lalu tenggelam selamanya.
E.B. White, dalam
esai "Here is New York" yang terkenal, mengatakan bahwa ada tiga New
York. Satu milik orang-orang yang bercokol di dalamnya sejak lahir atau
kanak-kanak, satu buat para pekerja yang umumnya datang dari kawasan-kawasan
satelit, dan satu lagi milik para perantau—tidak menutup kemungkinan
Banjarmasin juga sama.
Suatu saat, saya
percaya, Banjarmasin akan menjelma jadi kota raksasa seperti kota-kota lain di
dunia. Hari-hari ini, saya yang pendatang masih belum—dan mungkin tak
bakal—bisa mendefinisikan kota ini seperti E.B. White untuk New York, atau
memberi istilah seperti Seno Gumira Adjidarma untuk Jakarta—Homo
Jakartensis.
Urang Banua asli memberi Banjarmasin identitas, rombongan pekerja ulang-alik
memberinya kesibukan, dan para perantau memberinya gairah. Semuanya, meminjam
istilah Sandi Firly, adalah Homo Banjarmensis.
Setelah melihat
potongan video tersebut di Instagram, saya bergegas membuka kanal youtube Bilik
Bersenyawa, dan mencari judul “Philosophia Manusia”.
Oh, mengapa The Thinker?
Hidup ini, tulis Sandi Firly dalam esai “Mobil dan Simbol”,
memang penuh dengan mitos dan
simbol-simbol. Mulai sejak lahir, manusia sudah diberi tanda-tanda dan
simbol-simbol. Munir menggunakan patung terkenal buatan Auguste Rodin, The
Thinker—yang bagi sejumlah orang adalah perwakilan dari Dante yang sedang
memikirkan puisi The Gates of Hell, dan bagi sebagian yang lain patung
tersebut mewakili filsasfat, bahkan ada
pula yang menganggap sebagai simbol manusia modern—sebagai upaya membuka
wawasan tentang khazanah kesenian dan estetika luar negeri.
Suatu kali, saya dan
Angga, sang vokalis Penembak Jitu, berbincang-bincang di kedai Metafora
Kopistik, tentang banyak hal termasuk lagu Philosophia Manusia.
Banyak orang yang
berfilsafat tentang segala hal tapi masih gentar dengan wajah kematian. Bagi
seorang yang mencari, terang Angga, tak cukup hanya dengan mengandalkan
kemampuan berfilsafat atau gagasan brilian dari filsuf-filsuf terkenal. Sebab
gagasan atau keyakinan yang datang dari orang lain hanya sebatas gagasan atau
keyakinan pinjaman semata.
“Jawaban untuk
segala pertanyaan,” kata Angga sembari menyapu keringat di dahinya, “hanya ada
di dalam diri sendiri.”
Tujuan manusia,
katanya lagi, adalah untuk mengenal dirinya sendiri.
Lirik demi lirik ia
jelaskan kepada saya secara lebih hangat dan dalam. Saat itu, kedai tempat kami
berbincang sedang semangat-semangatnya karena suasana di dalamnya dihidupkan
oleh musik yang berisik dan obrolan yang hangat yang juga kian mendalam.
Video musik yang
digarap Munir dan kawan-kawannya lumayan membikin pikiran saya terlempar
kembali ke kampung halaman. Tapi, lirik-lirik yang dinyanyikan Angga dan
gebukan perkusi Yulian membuat saya seolah-olah paham soal penderitaan
laki-laki dan memandang dunia dengan gagah berani seperti Chairil Anwar.
“Dengan perlahan kau
berkenan kembali.” Lirik tersebut seolah dibisikkan Angga di telinga saya, dan
bisikkan itu menggugah.
Seperti yang
diterangkan Munir kepada Kanalkalimantan.com bahwa karya dalam bentuk
video musik ini merupakan persembahan untuk semua yang berusaha membuat kota
Banjarmasin menjadi lebih baik, semua yang muak dan ingin keluar, dan semua
yang telah menemukan jalannya di kota Banjarmasin. Ataupun semua yang masih
mencarinya seperti saya. Bagi Munir yang bercokol sejak lahir dan menghabiskan
masa kecilnya di Banjarmasin saja mengaku masih mencarinya, bagaimana dengan
saya yang baru lima tahun hidup di sini?
Saya pernah
menceritakan satu keluarga yang saya temui di suatu tempat di sudut kota
Banjamasin kepada Munir. Kepala keluarga itu mengisahkan pengalaman hidupnya
yang pahit dan indah kepada saya dengan cara yang indah pula. Tak ada kesedihan
di wajahnya ketika ia mengisahkan pengalaman hidupnya. Sepanjang bercerita ia
senantiasa tersenyum. Saya kira, si kepala keluarga itu, tahu bagaimana cara
merayakan hidup.
Apa pun nama dan apa
saja yang sudah dicapai kota ini sepanjang ia ada, siapa pun yang sudah menemukan
dan telah berhasil mendefinisikannya, baik mereka yang terperosok semakin dalam
maupun mereka yang punya tempat yang lebih tinggi, apa saja, selama ia dan
mereka yang pernah hidup dan berusaha menghidupkan kota ini patut dicatat,
“keduanya dapat tempat.”
Beberapa saat
setelah obrolan saya dan Angga, juga Yulian selesai, saya pulang.
Saya menuang
sekaleng Bintang ke dalam dua gelas berukuran kecil. Saya membuka pintu kamar
di lantai atas dan menyaksikan langit yang terang, lebih terang dari lima tahun
lalu ketika saya belum kenal Angga dan Penembak Jitu.
Lima tahun lalu saya
belum tahu dan tak kenal Munir. Lima tahun lalu belum ada perpustakaan Warung
Baca. Saya memutar lagu Philosophia Manusia, puluhan kali sejak pertama
kali saya membawa rilisan fisiknya ke
perpustakaan Warung Baca, dan menelan isi gelas yang pertama untuk Banjarmasin
dan segala yang ada di dalamnya.
Gelas yang kedua,
harapan untuk Penembak Jitu agar bisa bertahan lebih lama—seratus tahun mungkin
bukan harapan yang berlebihan.
Abdul Karim