Pada
setiap peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di dunia ini salah satu yang jadi
penanda adalah monumen-monumen karya yang dibuat oleh para seniman. Barang kali
kita bisa ingat bagaimana Pelukis dan arsitek renaisans asal
Italia, Raphael terkenal dengan karyanya yang berjudul Sistine Madonna (Madonna
di San Sisto) untuk komposisi tokoh besarnya di Vatikan, Roma.
Karyanya dikagumi karena kejelasan bentuk dan kesederhanaan komposisi untuk
pencapaian visual berideologi Neoplatonis; mengangkat keagungan manusia. Dari karya seni di atas ini kita bisa melihat bahwa
karya seni tidak melulu soal hiburan namun juga memiliki nilai-nilai esensial
yang sangat kuat sebagai sebuah corong ideologi atau gerakan suatu kelompok
tertentu. Sebuah karya seni tertentu kemudian akan memiliki label yang
bermacam-macam sesuai dengan karakteristik dan pesan-pesan yang dibawanya
kepada para apresiator.
Saat tulisan ini diketik dari
kota Banjarbaru ada sebuah band yang kata mereka beraliran Blues mengeluarkan
sebuah lagu baru. Jika melihat dari judul, teks lagu dan videonya maka akan
sangat terasa bahwa lagu ini lahir dari kegelisahan mereka terhadap pandemic
covid-19. Lagu ini sendiri mereka beri judul Pandeminiafuzz dari The Barbar. Isi dari teksnya yang jika kita
dengarkan banyak membahas soal ketakutan, ketidakperayaan dan kesimpangsiuran informasi.
Seakan-akan melalui lagu ini mereka ingin menyampaikan bahwa pandemi ini bukan
sekedar untuk ditakuti tetapi disikapi secara lebih cerdas.
Ada satu kalimat penting yang saya kira sangat jarang
biasanya masuk sebagai teks lagu pada Blues era sekarang atau Rock Progresif yaitu
sebauh teks yang isinya doa; “Tuhan cepatlah ini dimusnahkan”. Kalimat ini
seperti sebuah katarsis dari semua isi teks pada lagu Pandeminiafuzz. Sebuah kalimat pamungkas yang menjadi rujukan bahwa tidak ada hal yang bisa dipercayai lagi
selain Tuhan.
Dalam konteks ini The Barbar seperti sedang bermain capture
atas banyak tayangan yang juga menjadi latar video lagu mereka. Secara garis
besar mengarah pada praktik konspirasi itu sendiri. Pandeminiafuzz tanpa sadar juga sedang terbawa arus isu-isu yang
beredar. Namun tentu itu tidak masalah karena isu-isu tersebut kemudian menjadi
bentuk baru sebagai sebuah simbol pengingat kita atas sebuah tragedi wabah di
tahun 2020. Kita patut berterima kasih kepada The Barbar dan para seniman
lainnya yang berhasil membangun monumen karya sebagai sebuah respon atas
kejadian ini.
Pandeminiafuzz
tidak sekedar potret peristiwa The Barbar. Namun pada lagu ini pula kita bisa
menyaksikan The Barbar yang Blues-nya mulai goyah. Takaran genre pada lagu ini
lebih condong ke Rock, distorsi yang crunchy, pola gebukan dan sound drum
yang mirip dengan pola-pola era 90’an sangat terkesan lebih mengarah pada lead-lead
Rock daripada Blues. Jenis vocal yang berat dan cenderung ditahan juga
memberikan sesuatu yang berbeda dari kebiasaan Blues yang pada dasarnya adalah
bentuk vokal yang ringan dan melismatis.
Jika kita mau menilik, kebiasaan dari Lagu-lagu Blues lebih
liris daripada naratif; penyanyi Blues lebih banyak mengekspresikan perasaan
daripada bercerita. Untuk mengekspresikannya secara musikal, pemain Blues biasanya menggunakan teknik
vokal seperti melisma (mempertahankan suku kata tunggal di beberapa nada),
teknik berirama seperti sinkopasi, dan teknik instrumental seperti "choking"
atau membengkokkan senar gitar pada leher atau menerapkan slide logam
atau bottleneck ke senar gitar untuk membuat suara mirip voicel.
Pandemiafuzz tidak lagi liris
dan sangat naratif sehingga pola vokal yang dibawakan vokalisnya pun bergaya storytelling
sekali. Teks lagu menggunakan kalimat-kalimat yang akhirannya memiliki bunyi
yang sama. Choking khas Blues pun begitu minimalis yang paling terasa
hanya pada bagian intro saja. Ada bagian yang menurut saya itu adalah bridge
yang sangat Panjang. Saya kemudian membayangkan bagaimana jika musik ini hanya
didengarkan dan tidak memilii visual? Tentu ada titik kejenuhan karena hampir
22 Bar kita diajak mendegarkan pola-pola Blues sederhana yang sesuai dengan apa
yang saya dengar haya ada dua pola besar yang dominasinya ada pada gitar. Reff pada
lagu ini (jika memang kata Pandeminiafuzz bisa kita anggap sebagai reff)
berulang beberapa kali sebagai penekanan utama tanpa ada progresi melismatis
vokal.
Setahu
dan yang pernah saya dengar The Barbar telah merilis Bakar Saja Ijazahmu, Nyanyi Teriak,
Hoax (ini yang saya temukan di kanal
youtube mereka). Lagu Pandeminiafuzz
memang yang paling beda baik dari genre sampai karakter musikalnya. Pandeminiafuzz seperti terinfluence
dengan .Feast. Gaya vokal dan struktur lagunya menurut saya mirip dengan
.Feast. jika kita pernah mendengar karya-karya .Feast lalu kemudian
mendengarkan lagu The Barbar “Pandeminiafuzz” saya yakin kita langsung tertuju
pada warna vokal yang mirip. Hal ini juga diperkuat dengan tema yang dipilih
yaitu kritik sosial. Pertanyaan saya kemudian kenapa vokalis The Barbar merubah
warna suaranya yang sudah berkarakter Blues dan renyah dengan warna vokal (maaf,
mirip) Baskara vokalis .Feast. Vokal seperti Baskara ini sangat mudah dikenali
karena Baskara di Indonesia ini yang menggunakan warna dan gaya vokal seperti
itu dan kebetulan dia lagi terkenal. Jadi tentu saja perubahan yang terjadi ini
kemudian bisa dimaknai berbagai macam.
Namun
meskipun mirip bukan berarti plagiasi. Kemiripan dalam membuat karya adalah
sesuatu yang lumrah karena tidak ada sesuatu yang baru di bawah langit. Selain
itu tentu karena kita bisa saja saling mempengaruhi atau terpengaruh. Pandeminiazfuzz pada akhirnya lahir
sebagai sebuah penanda peristiwa yang secara ekplisit ditujukan pada wabah
covid-19 dan secara implisit perubahan karakter musikal The Barbar itu sendiri.
Pandaminiazfuzz akhirnya tidak
sekedar penanda peristiwa pandemic covid-19 namun juga hadir sebagai penanda
rasa bermusik baru The Barbar. Setidaknya kalian telah menancapkan satu monumen
karya sebagai penanda telah terjadinya sebuah musibah kemanusian besar di dunia
ini. Selamat atas lagu barunya dan terus berkarya istiqomah dalam nge-Blues.
----------------
Novyandi Saputra, artistic director NSA Project Movement, sebuah kelompok pergerakan berbasis budaya. Lulusan program pascasarjana Penciptaan dan Pengkajian Musik ISI Surakarta. Etnomusikolog & Komponis yang gagasannya berasal dari bunyi-bunyi instrumen tradisional Kalimantan-Nusantara. Aktif menulis tentang kesenian, terutama musik. Salah satu hasil riset etnomusikologi dirinya tentang musik tradisional Kalimantan Selatan telah dibukukan dengan judul Bunyi Banjar.