Soundtrack
hidup dari era 90-an, yang mengenalkan kembali apa itu indie: attitude adalah segalanya, dan ada
banyak musik bagus tapi mereka adalah musik keren.
Bencana
Pandemi Covid-19 memporak-porandakan ekonomi, bukan hanya Indonesia tapi
global. Kita terpaksa “dirumahkan”.
Tapi
setiap masalah selalu ada hikmahnya. Banyaknya waktu untuk berada di rumah
membuat kita memiliki lebih banyak waktu untuk merenung, melihat ke dalam dan
menjadi kreatif untuk bertahan. Kita mulai mengamati potensi apa saja
yang ada di sekitar kita dan memetakan value-value
yang ada.
Saya
yang musisi, mulai menata kembali isi studio musik di rumah, yang sebelum
pandemi hampir selalu berantakan, karena rumah sering ditinggal.
Saat
saya membongkar koleksi kaset, saya mengenang ada banyak sekali band/musisi
yang telah mempengaruhi musik yang saya buat bersama Navicula sejak awal
berdiri Navicula di tahun 1996.
Band-band
ini, Koil, Kubik, Cherry Bombshell, Pas Band, Nugie, Plastik, Superman is Dead,
LFM, dan banyak lagi band-band Indonesia yang telah memberi kuat sekali
pengaruh ke industri musik tanah air.
Saya
tertarik dengan istilah Indie atau independent, karena Pas Band yang
mempopulerkannya saat itu. Saya merasakan dan melewati melankolia ABG saat itu
dengan lirik lagu Matel dari Kubik. Nongkrong dengan sahabat-sahabat sambil
membawakan lagu Plastik. Terpesona dengan “attitude”
dan lirik kelam dari Koil. Dan, band saya Navicula, sama- sama meniti karir
dari nol dan ikut serta sejak awal mendirikan dan membesarkan skena musik indie
di kampung halaman kita, Bali, bersama rekan seperjuangan kita, Superman is
Dead.
Sejak
itu, saya yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA (atau kelas 11 sekarang), dan
memiliki mimpi-mimpi indah untuk bisa tetap ngeband hingga tua.
Band-band
yang saya dengar sejak SMA inilah yang menemani mimpi-mimpi ini. Yang membuat
musik dan menjadi anak band adalah sesuatu yang sangat berarti. Uang dan waktu
kita habis di musik. Jika ada yang bilang bahwa agamamu adalah dimana waktu dan
uang kita dihabiskan, maka jelaslah peran musik bagi kami saat itu. Bahkan
hingga saat ini.
Musik
adalah soundtrack hidup. Masa remaja adalah masa terbaik kita menyerap pengaruh
dari lingkungan; apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan. Lagu-lagu yang kamu
dengar saat remaja bisa jadi adalah playlist di hatimu selamanya.
Tanpa
band-band ini, Navicula bukanlah Navicula yang kita dengar sekarang.
Sekarang,
di waktu ini, di studio rumah, saya mengajak saudara-saudara saya di band untuk
menyiapkan altar, menyalakan lilin, membuat ritual konser dan rekaman. Kita
membuat sebuah perayaan bagi INSPIRASI.
A Tribute to Local Collaboration
Saat
kita kebingungan dengan tidak tersedianya produk sanitasi, petani arak
menyediakan solusi, dan kolaborasi adalah kunci di saat pandemi.Dampak pandemi
pada setiap orang berbeda-beda, sesuai dengan wilayah tempat tinggal, bidang
pekerjaan, jumlah penghasilan, serta hubungan keluarga dan pertemanan.
Masyarakat
urban dengan pendapatan harian dan kebutuhan sehari-harinya bergantung pada apa
yang tersedia di warung, pasar, atau swalayan jauh lebih terdampak secara
ekonomi dan kualitas hidup dibanding dengan masyarakat petani yang tinggal di
pedesaan.
Di
Bali, industri pariwisata dan hiburan, termasuk event, adalah yang paling
terpuruk.Untuk saya, yang juga berprofesi sebagai musisi, bisa dibilang
berkurang secara uang, namun di sisi lain bertambah secara waktu. Entah itu
waktu bersama keluarga, waktu untuk kesehatan diri sendiri, waktu istirahat,
ataupun waktu kreatif untuk memberdayakan apa saja yang ada di sekitar, serta
mengingat-ingat bakat terpendam, menggali kemampuan dan potensi yang
terlupakan.
Di
era pandemi ini, bagian-bagian yang retak dan rapuh pada sistem semakin
terlihat jelas. Ketergantungan pada impor akan barang-barang vital, seperti
bahan pangan menjadi hal yang sangat rentan. Berkurangnya lahan-lahan produktif
akibat alih fungsi lahan menjadi ancaman serius bagi stok pangan.
Kekuatan
yang ada di masyarakat juga muncul. Di saat semua dianjurkan untuk jaga jarak (social distancing), justru solusinya
muncul di hal kekerabatan sosial, dengan maraknya urunan, bantu-membantu dengan
semangat gotong-royong. Bergesernya skala prioritas dan kesadaran akan potensi
yang terlupakan sekonyong-konyong muncul ke permukaan.
Di
awal pandemi, sekitar awal Maret, sempat terjadi krisis bahan-bahan sanitasi
seperti hand sanitizer. Waktu itu, semua apotek dan supermarket yang saya
kunjungi kehabisan stok barang ini. Kondisi ini membuat saya gusar, kok
bisa? sesusah apa sih produksi hand sanitizer? Kenapa bisa langka, apalagi di
saat-saat paling dibutuhkan seperti saat itu.
Kopernik,
organisasi nirlaba tempat saya bekerja, saat itu membentuk team tanggap darurat
bencana terkait pandemi, dan agenda darurat utamanya adalah pengadaan APD serta
barang-barang sanitasi yang dibutuhkan paramedis di Bali secara cepat, salah
satunya adalah pengadaan hand sanitizer. Tanya sana-tanya sini, google
sana-sini, diketahui bahwa salah satu kabupaten di Bali, yaitu Karangasem,
memiliki sekitar 1000-an petani dan pengrajin arak yang tersebar di wilayah
kabupaten ini.
Ketersediaan
alkohol, sebagai bahan utama hand sanitizer, ternyata cukup melimpah. Pesanan
awal Kopernik, adalah alkohol 70% (membutuhkan penyulingan hingga 3 kali dari
arak tradisional untuk kebutuhan arak minum yang biasanya hanya disuling
sekali) sebanyak 500 liter terpenuhi secara cepat, melibatkan sekitar 50-an
petani dan pengrajin arak. Pemesanan dilanjutkan.
Kopernik
memesan lebih banyak lagi, sekitar 2.500 liter, dan sama, semuanya mampu
dipenuhi secara tepat waktu dan konsisten secara kualitas.
Setelah
Kopernik memiliki bahan baku ini, mereka bekerjasama dengan 2 brand industri
rumah tangga lokal: Utama Spice dan Embun Natural (yang keduanya berlokasi di
dekat kantor Kopernik, dan sudah cukup lama berkecimpung di usaha kosmetika
berbahan alami). Dari kedua perusahaan ini, bahan baku ethanol 70% ini disulap
menjadi hand sanitizer kualitas standar beraroma sereh.
Untuk
jalur distribusi, agar tepat sasaran, Kopernik bekerjasama dengan Gugus Tugas
Covid-19 Provinsi Bali, yang memetakan Rumah Sakit, Klinik, Puskesmas, Posko
Covid-19 di seluruh pulau Bali, disamping mendistribusikan langsung ke
tempat-tempat di daerah pelosok yang pastinya juga membutuhkan ketersediaan
barang-barang ini.
Kegiatan
ini berjalan sepanjang masa pandemi, dan mengikutsertakan lebih dari 200-an
lebih tenaga kerja, dan menggalang dukungan yang lebih banyak dari berbagai
pihak. Salah satu perusahaan minuman beralkohol, Diageo, yang pabriknya ada di
Bali, turut menyumbang 10.000 ethanol alkohol 70% sebagai bahan baku hand
sanitizer, sehingga saat ada total 13.000 liter bahan baku yang dimanfaatkan.
Inspirasi
dari kearifan lokal, dengan jaringan kolaborasi lintas sektor: petani, pengerajin,
pengusaha, relawan, dan pemerintah, adalah inti dari kegiatan ini. Ini hanya
satu contoh dari kisah inspirasi lokal dan kolaborasi yang saya alami langsung
di masa pandemi.
Dan
kami saat ini masih sangat membutuhkan dukungan karena produk ini masih sangat
dibutuhkan, terutama untuk daerah-daerah terpencil di pelosok negeri.
Saya
yakin ada segudang ragam kisah-kisah lainnya yang bertebaran di luar sana, kami
menawarkan satu yang nyata dan sedang berjalan, dan mengajakmu untuk turut
bergabung menjadi bagian dari kolaborasi ini.
Mari Bergabung Menjadi Bagian dari
Kolaborasi Ini
Navicula,
bekerjasama dengan Apa Kabar Bali? (Sebuah program news dari Kopernik, yang
berlokasi di Bali) dan Demajors (label dan distribusi rekaman, yang berlokasi
di Jakarta) membuat album baru Navicula,
yang berisikan 8 track kolaborasi dengan para idola kami.
Navicula
membawakan ulang lagu-lagu yang rilis di era 90-an, dari band-band inspirasi
kami tersebut.